acehinstitute.org - Tiga menteri telah menandatangani moratorium PNS pada 24 Agustus 2011. Ketiga menteri itu masing-masing adalah Menteri Keuangan Agus Martowardjojo, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan, dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri itu dianggap sebagai langkah taktis dalam mengefektifkan reformasi birokrasi. Moratorium PNS atau penghentian sementara perekrutan PNS resmi diberlakukan mulai 1 September 2011 hingga 31 Desember 2012. Masyarakat yang masih ngotot untuk menjadi PNS terpaksa harus berpuasa selama 16 bulan. Kecuali bagi mereka yang memiliki ijazah tenaga medis, dokter dan perawat, petugas keselamatan publik, dan tenaga pengajar.
Pemberlakuan moratorium PNS ini bukan tanpa alasan, pemerintah telah berkomitmen ingin membenahi segala sesuatu terkait penerimaan PNS, salah satunya adalah penataan kepegawaian. Selain itu, pemerintah juga menilai adanya komposisi belanja daerah yang umumnya tidak sehat. Belanja pegawai dirasakan jauh lebih besar ketimbang belanja publik dan pembangunan. Lebih lanjut, terjadinya penggemukan anggaran juga disampaikan oleh Presiden SBY dalam sebuah pidato di Gedung DPR pada 16 Agustus 2011. SBY mengemukakan bahwa membengkaknya alokasi anggaran juga dipicu oleh pertumbuhan daerah baru.
Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada 1999 hingga saat ini, daerah baru mengalami pertumbuhan yang luar biasa hingga 295 daerah, yang terdiri atas 7 provinsi, 164 kabupaten,dan 34 kota. Dengan demikian, jumlah daerah saat ini telah mencapai 524 daerah, yang terdiri atas 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Akibatnya alokasi anggaran banyak yang dialihkan untuk pembangunan fasilitas pemerintahan, belanja pegawai, dan keperluan lain bagi pemekaran daerah baru. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah apakah moratorium PNS ini benar-benar langkah tepat sebagai upaya penghematan anggaran dan reformasi birokrasi?
Reformasi birokrasi Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pernah juga dilakukan reformasi birokrasi. Reformasi yang dilakukan adalah mengubah birokrasi kolonial dan menggantikannya dengan birokrasi di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Djuanda. Upaya ini tak berlangsung lama, reformasi ini dianggap gagal karena sering terjadinya perubahan sistem politik dan sistem pemerintahan di masa itu. Akibatnya birokrasi bukan lagi menjadi kebutuhan untuk memperkuat kinerja pemerintah, tapi sudah menjadi alat politik untuk melanggengkan kekuasaan Soekarno.
Sedangkan pada masa Presiden Soeharto, reformasi birokrasi dilakukan pada lembaga-lembaga yang ada di pusat maupun daerah. Seluruh pegawai negeri didoktrin oleh Soeharto untuk memiliki sikap monoloyalitas. Sikap ini bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang kuat, sentralistik dengan titik berat pada pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Namun, pada pelaksanaannya sistem ini tidak lebih sebagai langkah Soeharto untuk bisa menjaga stabilitas kekuasaannya, bukan stabilitas pemerintahannya. Sehingga monoloyalitas PNS diubah fungsinya dari abdi masyarakat menjadi abdi Soeharto. Karenanya setiap pemilu, partai yang mengusung Soeharto selalu menang dengan angka mutlak.
Memasuki Era Reformasi, perubahan birokrasi juga belum dirasakan manfaatnya. Reformasi birokrasi dimasa ini hanya fokus pada jumlah hari kerja bagi PNS dan menyeragamkan pakaian dinas. Sedangkan esensi pelaksanaannya belum menyentuh reformasi birokrasi itu sendiri.
Di era SBY, permasalahan yang melilit birokrasi makin menumpuk. Ironisnya, di tengah-tengah gencarnya usaha reformasi birokrasi, pemerintahan SBY menjadi pemerintah yang gamang dalam mengurus lembaga negara. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah lembaga dan komisi negara.
Saat ini terdapat 88 lembaga pemerintah nonstruktural, selain 34 kementerian. Jumlah itu belum termasuk 28 lembaga pemerintah nonkementerian, tim, dan satuan tugas yang dibentuk Presiden SBY untuk menangani persoalan tertentu secara ad hoc.
Misalnya dalam urusan penindakan korupsi, selain ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di sana juga ada Polri dan Kejaksaan. Tidak hanya itu, SBY juga membentuk Tim Pemberantasan Tindak Korupsi dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.
Contoh lainnya adalah dalam bidang pengembangan wilayah, selain ada Kementerian Dalam Negeri, disana terdapat juga Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, Badan Pengembangan Kawasan Ekonomi Terpadu, dan lebih dari 10 dewan atau badan pengembangan wilayah khusus lainnya (Kompas, 18/7/2011).
Kehadiran lembaga-lembaga itu jelas-jelas telah mencederai tujuan reformasi birokrasi karena tidak efektif dan cenderung tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Jadi, reformasi birokrasi di era SBY seperti panggang jauh dari api. Tak jauh beda dengan presiden sebelumnya.
Birokrasi sudah menjadi alat politik untuk menunjukkan kepada masyarakat betapa berkuasanya pemerintah. Birokrasi sangat mudah diintervensi oleh kepentingan politik. Intervensi politik dalam birokrasi dapat dilihat dari adanya jabatan di lembaga-lembaga pemerintahan yang diduduki oleh elite politik. Hal yang sama juga terjadi dalam tubuh BUMN di mana masih kentalnya aroma politik. Elite-elite politik telah menjadikan mesin birokrasi sebagai mesin ATM-nya partai. Kita tahu, dana kampanye juga berasal dari mesin-mesin birokrasi ini.
Inkonsistensi pemerintah Meskipun dinilai terlambat oleh beberapa kalangan, moratorium PNS memang diperlukan sebagai upaya pembenahan birokrasi.
Instansi pemerintah pusat dan daerah diberi waktu empat bulan untuk menyusun grand design tentang penataan PNS. Jika tidak dilakukan, maka akan diberikan sanksi berupa pengurangan budget atau tidak diplotkan anggaran untuk perekrutan PNS. Namun, yang menjadi masalah selanjutnya adalah apakah pemerintah konsisten dalam pelaksanaan moratorium ini? Selama ini, pemerintah memang tidak konsisten.
Hal ini terjadi pada masa Feisal Tamim (2001 - 2004) yang melakukan Pendataan Ulang Pegawai Negeri Sipil (PUPNS) untuk mendapatkan data secara akurat dan terpercaya, namun perekrutan PNS yang tak sesuai dengan posisinya terus dilakukan.
Begitu juga kebijakan Taufiq Effendi (2004 - 2009) yang merekrut banyak tenaga honorer sehingga terjadinya manipulasi data tenaga honorer untuk diangkat sebagai PNS. Oleh karena itu, moratorium PNS bukanlah hal yang baru.
Patut dicurigai pula bahwa kebijakan ini hanyalah upaya pemerintah untuk menutupi kebobrokan birokrasi. Apalagi pemerintah hanya berani melakukan reformasi birokrasi pada tingkat bawah saja, sedangkan pada level atas yang banyak dihuni oleh "rekanan politik", pemerintah tidak melakukan pembenahan serius.
Maka tidaklah tepat jika moratorium PNS dijadikan alasan untuk penghematan anggaran sekitar Rp 3,2 triliun. Sedangkan sektor lain malah membuat anggaran negara semakin membengka, belum lagi korupsi yang dilakukan oleh elite-elite politik, birokrat, dan pejabat-pejabat publik dalam ranah birokrasi yang justru tidak tersentuh hukum.
Mereka menjadikan birokrasi sebagai lahan korupsi. Pemerintah pun tidak berdaya mengembalikan uang negara yang mereka curi secara utuh. Maka, sampai kapan inkonsistensi pemerintah akan berakhir ???
(sumber : www. acehinstitute.org)