Sejak pertengahan tahun 2013 hingga memasuki tahun 2014, tanda-tanda munculnya kembali konflik politik yang di warna kekerasan di Aceh sepertinya telah dimulai. Konflik Internal GAM yang dulunya hanya dibawah permukaan, tampak mulai muncul ke permukaan. Kekerasan yang telah diwarnai dengan korban jiwa, intimidasi dan perusakan, ini seharusnya bukanlah hal yang mengejutkan, karena jika mencermati pola konflik politik internal Aceh dalam rentang sejarah, hal ini sudah bisa diduga sejak lama.
Salah satu moment sejarah terpenting dalam konteks konflik internal Aceh adalah Perang Cumbok (1945-1946), yang sering disebut juga dengan Revolusi Sosial Aceh atau Revolusi Desember. Peristiwa yang bermula di kawasaki Lamloe, Pidie, ini sangat menarik, karena melalui telah terhadap peristiwa itu bisa dilihat pola-pola konflik internal Aceh sejak masa kolonial, dan pengaruh-pengaruhnya dalam konflik kekerasan politik kontemporer setelah itu, termasuk konflik terbaru antara PA dan PNA.
Dengan mencermati pola konflik Perang Cumbok, misalnya, kita bisa menemukan adanya kecenderungan bahwa peristiwa itu adalah warisan politik kolonial dalam bentuk friksi laten antara Ulee Balang versus ulama sejak masa pendudukan Belanda di Aceh. Begitu juga konflik-konflik internal Aceh lainnya setelah itu, yang ternyata memiliki akar dari warisan relasi historis dengan konflik politik dan kekerasan yang terjadi sebelumnya, sampai pada terbentuknya konflik politik internal terbaru di tahun 2014 antara PA dan PNA.
Perang Cumbok; Pecahnya Ulama dan Uleebalang.
Perang Cumbok adalah sebuah konflik sosial yang berpusat di Pidie, antara kelompok “Ulee Balang” (Bangsawan) yang dipimpin Teuku Muhammad Daud di Cumbok, seorang Ulee Balang di Cumbok (Lameuloe, Pidie) melawan kelompok “Ulama” yang tergabung dalam PUSA (Persatuan Usaha Aceh) yang dipimpin Tgk. Daud Beureueh yang berbasis di Beureunen.
Perang ini pada dasarnya adalah pergolakan untuk meruntuhkan “Feodalisme” di Pidie yang dipicu perbedaan pandangan dalam menyikapi Kemerdekaan RI di Aceh paska proklamasi RI, dimana pihak Ulee Balang menghendaki agar Belanda kembali ke Aceh, sementara PUSA menyetujui kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Pemberontakan Aceh Merdeka
Pemberontakan Aceh Merdeka (AM) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976 yang dipimpin oleh DR. M. Hasan Tiro. Pendirian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976, oleh Hasan tiro didukung sebagian ulama yang dulunya tergabung di dalam PUSA, salahsatunya adalah Tgk. Ilyas Leube, teman dekat Tgk. Daud Beureueh yang menjadi bagian penting dari gerakan Aceh Merdeka generasi pertama, dan generasi selanjutnya.
Perpecahan dalam Tubuh GAM : MP-MB GAM
Pola perpecahan internal Aceh ini ternyata terulang lagi dalam tubuh GAM, dimana kelompok Hasan Tiro juga ditentang oleh Husaini Hasan (Mentri Pendidikan GAM) yang membentuk kubu MP-GAM dipicu oleh perbedaan pendapat dalam sistim keorganisasian GAM. Pertentangan ini menajam ketika proses-proses damai sedang diupayakan oleh berbagai pihak termasuk unsur GAM sendiri paska kebangkitan kembali GAM pada tahun 1998.
Tapi sepertinya konflik internal ini samasekali tidak berkaitan dengan soal ideologi, tetapi lebih karena pertarungan kepentingan kelompok saja. Konflik internal ini bahkan sempat mengambil korban, dimana salah seorang juru bicara MP-GAM, Teuku Don Zulfahri tewas dibunuh di Malaysia pada tahun 1998. Sampai sekarang, kasus ini tak pernah jelas, secara hukum. Konflik MP-GAM dan GAM memang tidak sampai meluas dan relatif tidak menjadi konflik terbuka sampai tahun 2004, dimana akhirnya konflik GAM dan pemerintah RI diselesaikan lewat MoU Helsinki, 15 Agustus 2005.
Dalam proses damai ini kubu MP-GAM samasekali tidak dilibatkan, dan tetap meninggalkan duri dalam relasi internal GAM. Dalam kacamata Conflict Management, hal ini juga menjadi salahsatu faktor lain konflik internal Aceh, khususnya dalam kaitan konflik internal GAM.
Perpecahan GAM Paska MoU Helsinki : PA vs PNA
Sampai disini, selesaikah konflik internal di tubuh GAM? Ternyata tidak. Setelah posisi politik GAM semakin menguat pasca MoU Helsinki, dan diperkukuh dengan keluarnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA- UU. No. 11 Tahun 2006), sebenarnya mantan anggota GAM atau PA yang merupakan organisasi politik resmi, hanya tinggal merealisasikan berbagai agenda sosial dan politiknya sebagaimana yang telah mereka sepakati, diantaranya mendirikan partai politik lokal di Aceh.
Sayangnya agenda-agenda paska konflik berdasarkan MoU Helsinki dan UUPA, justru menyimpan begitu banyak persoalan detail yang tidak seluruhnya mampu dikelola dalam perspektip conflict Management, sehingga malah menimbulkan banyak persoalan baru tanpa hadirnya suatu agenda intervensi yang dapat meredam berbagai distorsi paska kesepakatan damai.
Babak Baru Konflik Aceh; GAM vs “GAM
Babak baru konflik internal Aceh dimulai saat pemilihan Gubernur Aceh tahun 2006. Agenda setting paska MoU Helsinki adalah dilaksanakannya suatu pemilihan umum yang demokratis, dimana unsur-unsur GAM dapat ambil bagian dalam kontestasi politik. Saat itu, Petinggi GAM Swedia memilih DR. Ahmad Humam Hamid, MA, seorang dosen di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, sebagai Calon Gubernur dan Drs. Hasbi Abdullah seorang petinggi GAM sebagai Calon Wakil Gubernur. Bagi pimpinan resmi GAM, terutama yang berbasis di Swedia dibawah komando Meuntro Malek (Sekarang Wali Nanggroe Aceh), kedua orang ini adalah calon yang disiapkan secara resmi oleh “GAM”.
Tetapi kelompok mantan “GAM” lainnya, terutama para Panglima Sagoe, generasi GAM yang lebih muda dan berbasis di dalam negeri, lebih memilih mengajukan calon berbeda, yakni drh Irwandi Yusuf-- mantan utusan GAM dalam lembaga AMM dimasa transisi Aceh paska MoU--sebagai Calon Gubernur, dan Wakilnya adalah Muhammad Nazar, aktivis SIRA yang juga dekat dengan GAM. Pasangan ini disebut dengan pasangan SINAR, singkatan Seuramoe Irwandi Nazar. Sementara di kubu “Petinggi GAM Swedia” Pasangan Humam Hamid dan Hasbi Abdullah disebut dengan pasangan H2O yang merupakan singkatan dari Humam – Hasbi Ok.
Disini konflik internal GAM semakin menemukan bentuknya menjadi perseteruan terbuka yang kemudian memecah-belah GAM dalam dua kutub yang sangat bertentangan. Irwandi Yusuf, yang akhirnya terpilih sebagai Gubernur Aceh pada Pilakada Gubernur Aceh 2006, telah dianggap sebagaisosok yang “melawan” mainstream kekuasaan GAM, karena terang-terangan berseberangan dengan para petinggi GAM kelompok Swedia.
Kemenangan ini juga dianggap mencoreng kewibawaan GAM, yang notebane baru mendapatkan “kemenangan” politik paska MoU Helsinki di Aceh. Maka jalan satu-satunyta untuk mengembalikan kewibawaan GAM adalah dengan merebut posisi Gubernur dan Wakil Gubernur pada pemilihan Gubernur lima tahun berikutnya, yakni Pilkada Gubernur Aceh tahun 2012.
Sementara menunggu hal itu terjadi, GAM telah membentuk Partai Lokal sendiri dengan nama Partai Aceh (PA) pada tahun 2008, dan akhirnya berhasil memenangkan Pemilu Legaslatif DPR Aceh, dengan menguasai 33 dari 65 kursi legislatif yang tersedia pada tahun 2009. Dengan demikian, secara formal; PA memiliki kemampuan untuk mengajukan calon Gubernur dan Wakil Gubernur sendiri pada Pilkada Gubernur tahun 2012 nantinya.
Tak lama setelah itu, kelompok Irwandi Yusuf juga membentuk Partai baru bernama Partai Nasional Aceh (PNA), Partai ini diharapkan dapat membantu pasangan Irwandi Yusuf dalam Pilkada Gubernur 2012. Irwandi sendiri di PNA bertindak sebagai pendiri dan Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP).
Pada pemilihan Gubernur Aceh tahun 2012, Irwandi Yusuf kembali mencalonkan diri sebagai “incumbent” berpasangan dengan birokrat yang menjabat salah seorang kadis (kadis PU) selama priode kegubernuran Irwandi Yusuf , yaitu DR. Ir. Muhyan Yunan. Sementara GAM melalui kali ini melalui jalur formal PA, mencalonkan dr. Zaini Abdullah (Abang kandung Hasbi Abdullah) dan Muzakir Manaf (mantan Panglima GAM), sebagai Calon Gubernur dan wakil Gubernur dengansebutan “Zikir”.
Singkat cerita, kali ini PA kembali menegakkan kewibawannya dengan berhasil memenangkan pasangan Zikir sebagai Gubernur dan Wakil gubernur Aceh. Maka praktis baik lembaga Eksekutif maupun Legislatif di Aceh kini telah dikuasai unsur GAM dan PA. Sementara PNA yang baru terbentuk belum memiliki kursi di DPR Aceh, sehingga tetap melalui jalur independen, tanpa dukungan kekuatan politik partai yang memadai.
Situasi menjelang Pilkada Gub 2012, persis seperti kondisi menjelang Pemilu Legislatif 2014 ini, berbagai teror kekerasan, pembunuhan intimidasi dan sejenisnya terjadi. Peristiwa paling terkenal adalah serangkaian pembunuhan misterius terhadap warga suku Jawa yang jadi pekerja kabel listrik di Aceh Utara, Pidie dan Banda Aceh menjelang akhir tahun2011.
Tercatat 10 orang tewas terbunuh dalam kekerasan menjelang Pemilu dan meningkatnya kecemasan di seluruh Aceh. [10] Kekerasan-kekerasan ini terjadi bersamaan waktunya dengan polemik tidak disetujuinya kandidat Calon Independen dalam Pemilu Gubernur waktu itu oleh DPRA yang dodominasi oleh PA, pendukung pasangan “Zikir”. Intinya; PA di DPR Aceh ingin mengganjal pasangan Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan, agar tidak dapat ikut persaingan Calon Gubernur dengan menggunakan dasar MoU Helsinki dan pasal 256 UUPA yang menyebutkan Calon Indepen Gubernur Aceh hanya berlangsung satu kali, yaitu pada Pilgub 2006 saja. Aturan itu sudah dibuat melalui Qanun DPR Aceh, Qanun No. 3 tahun 2006 yang telah direvisi.
Terpilihnya pasangan Zikir sebagai Gubernur Aceh, ternyata tidak justru menghentikan konflik internal Aceh. Spiral konflik yang memang tidak pernah selesai, kembali mengikuti siklusnya dalam bentuk perseteruan anatara PNA dan PA, dua Partai Politik lokal yang memiliki akar “genealogisnya”dari GAM. Praktis di awal tahun 2014 babak baru konflik politik internal Aceh memasuki babak baru, dimana momentum kekerasan konflik internal muncul menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2014.
Persis seperti pola kekerasan politik yang terjadi pada Pilgub 2012 yang memakan 10 korban tewas, menjelang Pemilu Legislatif April 2014, kasus-kasus intimidasi, kekerasan fisik dan pembunuhan yang memakan korban kembali terjadi. Apakah pola ini terjadi secara kebetulan?
Sayangnya dalam catatan penulis, pola ini tampak bersifat teratur yang menunjukkan apa yang terjadi menjelang Pilgub 2012 dan kekerasan menjelang Pemilu Legislatif 2014 memiliki persamaan, baik dari segi pola, momentum dan aktornya.
Pola Konflik Politik Internal Aceh.
Dari beberapa catatan di atas, hal pertama yang bisa kita pelajari dari konflik internal Aceh sejak masa kolonial hiungga kini adalah, bahwa friksi-friksi internal sangat memberi warna konflik-konflik horizontal antar-orang Aceh maupun konflik vertikal orang Aceh ketika berperang melawan Belanda, atau ketika gerakan pemberontakan Aceh ditujukan pada kekuasaan Pemerintah RI. Hal ini bisa kita baca polanya sebagaimana terlihat dari Perang Kolonial, pemberontakan DI/TII maupun yang terakhir pemberontakan GAM melawan RI.
Ketika konflik melawan pihak luar berakhir, maka konflik internal segera terbentuk. Dalam setiap fase historis konflik itu, kita bisa temukan koneksi antara yang satu dengan yang lainnya, baik dari deskripsi historisnya secara umum, maupun relasi aktornya. Dengan kata lain, pada setiap moment konflik tidak pernah ada penyelesaian konflik yang memadai sehingga dapat mentransformasi konflik tersebut pada suatu resolusi baru masa depan Aceh yang damai dalam bentuk kesepakatan kolektip, dan atau suatu kesadaran sejarah mengenai akar konflik yang mereka hadapi.
Transformasi konflik internal dari masa ke masa yang terjadi di Aceh yang umumnya terjadi dengan trend spiral konflik yang berkesinambungan, menunjukkan indikasi kuat bahwa pada setiap event penyelesaian konflik sebenarnya tidak pernah ada intervensi yang fundamental, dimana akar konflik benar-benar telah putus atau diselesaikan.
Apa yang dipahami sebagai periode damai dalam setiap momentum penyelesaian konflik sebenarnya hanyalah sebuah jeda sesaat, yang dalam siklus konflik disebut dengan momentum Negative Peace. Negative Peace adalah suatu situasi damai, tetapi setiap pelaku potensial konflik tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan setiap perbedaan pendapat secara non-violence.
Ketiadaan keterampilan mengelola konflik baik di level formal maupun non-formal, mengakibatkan masing-masing kelompok yang berbeda pendapat hanya memiliki model penyelesaian secara permusuhan dan langsung tanpa hadirnya kekuata positif yang melakukan “driving forces” ke arah damai.
Disinilah pentingnya kemampuan Conflict Management dari pihak otoritas, tapi sayangnya kemampuan inilah yang jelas sekali tidak tersedia. Akibatnya, setiap peristiwa yang terjadi, hanya lewat sebagai catatan dan diterima sebagai kenyataan, tanpa ada tanda-tanda yang pasti mengenai ending point-nya.