Pilkada Aceh sebenarnya bukan satu-satunya pemilihan kepala daerah yang bermasalah dalam dua tahun ini di Indonesia. Di belahan nusantara lainnya, konflik pilkada baik terkait regulasi, pencalonan, kewenangan dan putusan Mahkamah Konstitusi juga terjadi.
Gangguan keamanan atau kerusuhan merupakan salah satu alasan sebuah pilkada di tunda atau digeser hari pemungutan suaranya. Di Toli-Toli, pemungutan suara diundur karena protes para pendukung calon. Ini memunculkan kesimpulan, istilah gangguan keamanan atau kerusuhan sangat banyak tafsirannya. Protes para pendukung atau kandidat bisa ditafsirkan sebagai bagian dari gangguan keamanan dan kerusuhan karena potensi ke arah tersebut sangat besar. Sehingga wajar, jika pemerintah dan pihak keamanan sangat berhati-hati dalam menangani konflik pilkada apalagi pilkada di daerah bekas konflik seperti Papua, Maluku dan Aceh.
Seruan untuk menyelematkan perdamaian Aceh diembuskan oleh banyak pihak sejak perjanjian damai Helsinki ditandatangai 15 Agustus enam tahun lalu. Namun, kendati gema seruan itu bagaikan azan yang dikumandangkan berkali-kali, realitas politik gagal mengkonfirmasi seruan tersebut. Tidak perlu kita melihat ke belakang tahun 2011, tahun ini saja kekerasan baik bermotif kriminal murni atau kriminal politik masih terus membayang.
Dengan realitas itu, bisakah kita berharap pilkada di Aceh bisa berlangsung tanpa kekerasan? Kuncinya ada ditangan elit politik baik di eksekutif, legislatif dan partai politik. Mereka perlu dengan hati-hati, akurat dan terukur menghitung dampak dari kontestasi politik yang mereka lakonkan terhadap masa depan perdamaian dan pemulihan Aceh pascakonflik dan tsunami.
Ingat, pilkada 2011 atau 2012 akan sangat dekat waktunya dengan pemilu legislatif 2014. Dua atau tiga tahun dari sekarang, mau tidak mau Aceh akan memasuki kembali persaingan pemilu legislatif yang pastinya akan keras dan panas. Adalah sebuah prestasi besar bagi Aceh kalau mampu memproteksi dirinya dari sindrom kekerasan pilkada seperti yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia dengan membangun konsensus politik tanpa kekerasan. Kita perlu berkomitmen merayakan pilkada tanpa kekerasan. Saya optimis, Aceh punya kemampuan itu. Keep on fighting for the better Aceh...!!