RAPAT Paripurna DPRA yang memutuskan menolak klausul tentang calon independen dalam Qanun Pilkada, sesungguhnya semakin mempertegas adanya kontestasi politik yang tajam antarmantan pejuang
Aceh Merdeka. Dan tentunya juga akan memilah masyarakat Aceh ke dalam dua kelompok politik besar antara pro-kontra tentang calon independen.
Keputusan DPRA yang didominasi Partai Aceh (PA) ini tidak kemudian membuat langkah Gubernur
Irwandi Yusuf untuk kembali mencalonkan diri sebagai gubernur melalui jalur independen menjadi terhenti. Atau kemudian ia harus berpaling menerima tawaran pencalonan melalui koalisi partai nasional yang agaknya menilai
Irwandi Yusuf sebagai tokoh alternatif terbaik untuk Gubernur
Aceh ke depan.
Hal itu karena, menurut Irwandi Yusuf, pilkada Aceh akan berjalan tanpa qanun baru, tetapi akan merujuk kepada Qanun Pilkada 2006 yang juga mengatur tentang tata-cara pencalonan melalui jalur independen. Sehingga tahapan pilkada Aceh yang sudah direncanakan oleh KIP tidak terganggu oleh keputusan rapat Paripurna DPRA yang menolak calon independen (atjehpost.com, 27/06/2011). Dengan demikian tampaklah, ada bola salju pertarungan politik yang semakin menggumpal dan dikhawatirkan bisa mengganggu bangunan perdamaian yang kiranya masih rentan.
Jika ditelusuri, kontestasi politik tentang keberadaan calon independen dalam Pilkada 2011 antara legislatif (PA) dan eksekutif (Gubernur/KIP) dan para pendukungnya, kiranya masing-masing pihak memiliki pendirian dan nalar logika politik dan hukum tersendiri, yang sejauh ini belum dapat dipertemukan. Namun, sepanjang tidak melahirkan kekerasan dalam berbagai bentuknya, maka kontestasi itu bisa jadi berguna bagi proses pendidikan dan pendewasaan politik berdemokrasi di Aceh, sekaligus di Indonesia, sebagai bagian esensial dari usaha bina damai itu sendiri.
Di satu sisi, bagi pihak eksekutif/KIP dan para pendukung calon independen beralasan, bahwa keputusan MK membatalkan pasal 256 UUPA No.11/2006 mengembalikan hak politik rakyat Aceh adalah sesuatu yang sudah tepat. Karena pasal 256 tersebut dinilai bertentangan semangat konstitusi UUD 45 tentang hak politik setiap warga negara untuk memilih dan dipilih.
Dan, dalam konteks judicial review terhadap suatu aturan perundang-undangan yang diajukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada MK, untuk ditinjau kembali tentang ada tidaknya pertentangan dengan UUD 45, sama sekali tidak mempersyaratkan perlunya konsultasi atau meminta pertimbangan dari pihak mana pun. Kecuali sekadar meminta pendapat dari para ahli jika dibutuhkan MK.
Jadi setiap keputusan MK, sebagai lembaga yang bertugas mengawal penafsiran, penjabaran, dan pelaksanaan dari UUD 45 melalui berbagai aturan perundangan, agar tidak menyeleweng dari ideologi negara, adalah bersifat mandiri dan secara hukum mengikat seluruh warga Negara Indonesia. Dan pemerintah Indonesia wajib untuk melaksanakan keputusan MK tersebut dengan segera melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap aturan perundang-undangan yang telah dibatalkan MK.
Pertanyaannya, apakah perubahan yang harus dilakukan oleh pemerintah terhadap suatu Undang-Undang (seperti UUPA No.11/2006) harus lebih dulu dilakukan sebagaimana keputusan MK, atau perubahannya dapat hanya terus dilakukan pada tingkat aturan turunannya (Perda/Qanun) dari Undang-Undang yang di antara pasalnya ada yang dibatalkan? Artinya, apakah UUPA harus terlebih dulu diubah Pemerintah/DPR RI, baru kemudian qanun sebagai turunan baru boleh diubah oleh DPRA? Terhadap hal ini, tampak ada sesuatu yang tidak jelas.
Di sisi lain, pihak politisi PA dan para pendukung pendiriannya, menilai pembatalan pasal 256 UUPA no 11/2006 merupakan sebuah tindak pelanggaran terhadap semangat perdamaian, sebagaimana yang telah disepakati antara para pihak yang berunding dalam proses perumusan materi perdamaian yang akhirnya menghasilkan MoU Helsinki. Sehingga segala perubahan yang kiranya boleh saja terjadi dalam UUPA yang merupakan jabaran turunan dari MoU Helsinki, mestilah didahului adanya konsultasi dan pertimbangan DPRA (pasal 269:3).
Menurut politisi PA, meskipun perubahan itu dilakukan oleh MK baik karena didasarkan pada alasan-alasan adanya pertentangan dengan UUD 45, maupun alasan-alasan demokratis dan hak-hak asasi manusia, konsultasi dengan dan pertimbangan dari DPRA tetap diperlukan, sebagai suatu penghargaan atas perdamaian yang telah susah payah dibangun selama ini.
Tampak di sini, bahwa antara logika politik hukum yang melatari pendirian masing-masing pihak, terdapat titik pijak yang berbeda. Para pendukung calon independen melihat keberadaan calon independen dalam Pilkada 2011 di Aceh sebagai suatu hak konstitusi dan hak politik rakyat Aceh. Sementara para politisi PA, sebagai pihak yang secara langsung menentukan materi perdamaian, melihat pembatalan pasal 256 UUPA no. 11/2006 sebagai bentuk tindakan yang merusak perdamaian. Karena pembatalan pasal tersebut tidak didahului dengan konsultasi dan meminta pertimbangan dari DPRA.
Terlepas dari berbagai kepentingan sempit yang barangkali juga menjadi alasan di balik sikap pro-kontra calon independen, semestinya semua pihak perlu memiliki kearifan kontekstual, di mana Aceh merupakan wilayah bekas konflik yang pernah berlarut-larut.
Sense of Peace Building seharusnya menjadi sisi lain dari kemampuan berpolitik yang perlu dipertimbangkan untuk merawat perdamaian. Ketimbang memaksa segera terjadinya suatu perubahan dari kesepakatan awal yang telah menghasilkan perdamaian, namun kemudian menghasilkan ancaman atas perdamaian itu sendiri, yang kini telah kita nikmati bersama.
Referendum
Menyikapi adanya dualisme pendirian politik tentang calon perseorangan itu, barangkali bijak jika seluruh rakyat Aceh yang telah berhak memilih diminta pendapatnya. Karena jika pilkada Aceh ke depan berjalan tanpa kesepakatan dasar hukum yang kuat melandasi keberlangsungannya, kiranya akan sangat potensial merugikan rakyat Aceh. Karena pertarungan antar pendirian politik itu potensial membuat pembangunan Aceh ke depan menjadi tersendat.
Oleh karena itu, marilah kita berlatih untuk menghargai pendapat dan aspirasi mayoritas rakyat Aceh dengan membuat referendum yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga independen yang terpercaya. Walau pelaksanaan referendum ini tentu akan memakan waktu, finansial dan social-politik cost lainnya. Namun ini dapat menjadi jalan lain membangun demokrasi dan perdamaian itu sendiri.
(Sumber :
www.aceh.tribunnews.com)