WRITTEN BY : FAJRAN ZAIN | ANALIS POLITIK THE ACEH INSTITUTE.
Besar kemungkinan Qanun Pilkada 2011, yang menolak keberadaan kandidat independen, akan mati suri. Begitulah respons Kementrian Dalam Negeri. Pemerintah pusat, tidak mau masuk ke dalam wilayah fait a comply seperti ini, dan lebih memilih pasif. Sikap apapun yang diambil akan berpotensi mengganggu keharmonisan dengan para pihak yang sedang berargumentasi.
Pada konteks lokal, analoginya adalah sikap parnas yang abstain dalam sidang paripurna lalu. Sikap ini tidak bisa diterjemahkah sebagai penolakan terhadap kandidat independen, tetapi lebih merupakan strategi “cantik” dalam menghadapi hasrat politik partai mayoritas. Parnas tidak memiliki konsekuensi signifikan dari ada-tidaknya kandidat independen, mereka bahkan sudah mengelus jagoannya. Justru mengambil sikap kontra dengan partai mayoritas akan menyeret mereka dalam konflik kepentingan yang tidak taktis.
Selain itu, sudah bisa diramal, absolutisme sikap Partai Aceh (PA) akan berpotensi menurunkan popularitas PA itu sendiri. PA telah menempatkan diri sebagai pusat polemik yang tidak populer di mata orang banyak. Hal ini otomatis menguntungkan parnas sebagai kontestan lain dalam pemilu nanti (baca: politik profit- taking, AI, 29/01/09).
Di permukaan, kisruh kandidat independen adalah laga argumen antara para advokat dari kedua faksi pendukung dan penolak. Namun di bawah permukaan, debat ini justru mengarah pada pelemahan, dan bukti melemahnya konsolidasi internal PA.
Kalau kita tarik pada simpul representasi politik, ada yang tidak beres dalam konsolidasi kekuatan politik di Aceh, yang akhirnya bermuara pada melemahnya arus desakan politik ke pusat. Konsolidasi di Aceh memang lemah dan diperlemah lagi oleh nafsu politik kekuasaan. Lalu siapa yang diuntungkan? Sikap PA terhadap kandidat independen berangkat dari argumen penghormatan terhadap MoU/UUPA.
Tetapi mari simpan sejenak argumen yang idealitikal-skeptikal itu. Secara pragmatis bisa diduga sikap ini bertujuan untuk melokalisir medan kompetisi. Dengan hanya 3 atau 4 kandidat usungan parpol, maka PA berpeluang besar menjadi kampiun. Sebagai pemegang lisensi kepentingan Aceh vis a vis kepentingan nasional--berbungkus parnas-- maka PA akan lebih mudah meraup simpati. Sentimen ini, walau tidak seherois pemilu 2006 lalu, tetap masih menyisakan spirit nasionalisme tersendiri. Namun sentimen ini akan sulit dikelola bila kran kandidasi dibuka lebar, sehingga banyak yang akan menggunakan lisensi yang sama.
Konon lagi bila penggunanya memiliki akar yang sama, maka strategi lisensi pun basi. Terbukti Irwandi mencalonkan diri, dan pasti akan menggunakan lisensi ini. Fakta lain, Irwandi juga didukung oleh orang-orang dari rumah yang sama. Maka lengkaplah buyarnya konsolidasi suara.
Tetapi pertunjukan harus tetap berlangsung. Ada yang sibuk berdebat, namun banyak juga yang produktif bekerja, mengumpulkan massa dalam koridor hukum yang ada. Kalau kita perhatikan, poros debat semakin mengkerucut antara kubu Malek versus kubu Irwandi, sementara kandidat- kandidat lain terus gerilya. PA mengalami rabun dekat (hipermetropia), sibuk mempersoalkan keputusan MK, sementara seremoni kekalahannya sudah di depan mata.
Sebagai contoh mari kita ambil potret salah satu kandidat, Muhammad Nazar. Dalam konteks putusan DPRA, Nazar termasuk orang yang akan tersandung, berada dalam kutub yang sama dengan Irwandi. Namun Nazar cukup cerdas, tidak mau diajak berjoget dalam irama DPRA, ia menciptakan goyangannya sendiri.
Dicegat di jalur independen, Nazar merambah jalur parpol, dan membiarkan pihak berdebat untuk terus berdebat, sementara ia fokus pada konsolidasi dan konsolidasi. Minimal saat ini sudah ada dukungan dari 117 ormas lintas sektoral (Serambi Indonesia, 9/7/11).
Selain Tarmizi Karim dan Otto Syamsuddin, Nazar termasuk salah satu kompetitor tangguh.
Ia brilian dalam membaca irama Jakarta, santun dan mampu berbahasa kraton. Ia bahkan mampu tersenyum seperti Abdullah Puteh. Hal ini yang membuat beberapa parnas, seperti PD, Golkar, PAN, dan PKS sangat menghitung Nazar. Mendapat dukungan satu parnas saja, Nazar sudah punya tiket, konon lagi bila didukung oleh koalisi parnas, maka pintu gerbang T. Nyak Arief pun kian terbuka.
Betapa tidak, konteks pemilu 2011 ini sangat terkait dengan konteks pemilu 2009. Parpol-parpol yang merasa previlige- nya diambil oleh PA, pasti akan berusaha mengambil previlige-nya kembali.
Ini adalah warning bagi PA, bahwa potensi koalisi parnas untuk memenangkan kandidat yang berasal dari luar PA, sangat mungkin.
Bagaimana bila kandidat usungan parnas menang? Tentu sah-sah saja, dan secara demokrasi juga berdampak positif di mana terjadi balance of power antara eksekutif dan legislatif.
Keliru juga bila mengasumsikan kandidat usungan parnas kurang meng-Aceh. Spirit ke-Acehan tidak ditentukan oleh baju partai. Buktinya semua parpol di Aceh, lokal ataupun nasional, sama korupnya. Hanya saja, di sudut hati kita ada yang terluka, bila satu- satunya partai lokal; satu-satunya instrumen politik amanah MoU Helsinki, ternyata terempas ke tanah secara prematur, diinjak-injak oleh kerakusan tuan rumahnya sendiri.
Kita tidak tahu, apakah ini difikirkan oleh PA. PA belum kalah; yang dibutuhkan adalah pendekatan yang taktis serta menurunkan selera manuver. Kabar terakhir, PA memotori parpol-parpol untuk menolak pemilu. Ingat, ini politik profit taking. Bagi parnas gaya “buying time” berkorelasi positif dengan penguatan konsolidasi, makin lama pemilu, partai makin solid.
Sementara bagi PA, korelasinya negatif, penundaan ini hanya bermakna jeda untuk menarik nafas lalu kembali berdebat.
Alangkah baiknya PA mulai fokus pada performa diri. Alih- alih berfikir untuk menghentikan langkah orang, akan lebih produktif bila berfikir bagaimana agar kandidatnya bisa mempercepat langkah.
Seperti Obama, dia fokus pada perubahan yang ingin ditawarkan, bukan mengurusi orang lain. Bila sibuk mengurus orang lain, lalu apa yang bisa ditawarkan pada konstituen?
Drama politik Aceh memang panjang, kita tidak tahu apa lagi yang akan terjadi ke depan. Bukan seperti film India yang mudah diduga, anak mudanya satu, alur ceritanya sama, ending-nya pasti bahagia.
Sayangnya Aceh bukan India; Aceh punya banyak anak muda, dan semua mau menjadi anak muda, ending-nya tak tahu di mana, lalu menjadi film serial.
Semoga Allah Swt selalu merahmati kita.
Fajran Zain | Analis Politik The Aceh Institute.