SELAT Malaka dahulu terkenal dengan para perompak yang sering membajak kapal-kapal dagang yang melalui perairan Selat Malaka. Isu pembajakan menjadi salah satu agenda yang diangkat untuk menjadi alasan Belanda menyerang kerajaan
Aceh tahun 1873.
Siapa yang menyangka peristiwa ëpembajakaní ini kembali terulang pada 2011. Para ëpembajakí itu kini hidup di darat dan berkiprah dalam pentas politik Aceh. Bila dahulu kapal dagang yang menjadi sasaran, maka kini ìKapal Demokrasiî yang dibajak.
Selasa 28 Juni 2011, terjadi teater yang memalukan dalam konteks kehidupan berdemokrasi di
Aceh. Sebagian anggota dewan yang didukung kekuatan massa mengambil suatu keputusan meniadakan calon independen dari pertarungan Pilkada 2011. Dari 69 Anggota DPRA yang hadir, akhirnya 37 Anggota dewan PA dan tiga dari PAN menyatakan tidak setuju calon independen dimasukkan dalam Qanun Pilkada.
Kerugian
Sengketa ini dimulai ketika PA tidak lagi mencalonkan
Irwandi Yusuf dan Irwandi menyatakan diri untuk ikut dalam jalur independen. Walaupun pada awalnya Irwandi tidak menyetujui perjuangan judicial review pasal 256 UU PA. Pertikaian antar dua kubu di Aceh ini telah merembes hampir ke semua lini. Di barisan massa, barisan eks GAM terpecah dan terjadi pemecatan terhadap sejumlah kader PA akibat persoalan dukung mendukung. Kekerasan pun pecah, terjadi penyerangan pendukung seperti di Bireuen dan penurunan paksa spanduk salah satu calon kandidat di Aceh Barat.
Proses terhapusnya klausul calon independen dalam Qanun Pilkada bukan tidak mungkin memupuskan harapan terwujudnya demokrasi di Aceh. Pertikaian antar elite perihal calon independen telah mengorbankan banyak kepentingan rakyat Aceh.
Para ëpembajakí telah menyeret Aceh ke dalam jurang mobokrasi. Mobokrasi adalah gabungan dari dua kata yaitu ëMobí yang berarti gerombolan, dan ëKrasií yang berarti kedaulatan atau kekuasaan. Karena sebagai tempat berhimpunnya massa yang brutal, maka mobokrasi pun bersifat kontra demokrasi. Pengerahan massa menjadi ciri dari proses politik yang berlangsung di Indonesia. Pelimpahan massa dianggap sebagai cara efektif untuk memberi dukungan terhadap kekuatan politik atau pihak tertentu. (
www.leadership-park.com).
Penyakit ini pun menular ke Aceh, dengan banyaknya massa yang berkumpul, dipandang mempunyai kekuatan melakukan tekanan psikologis terhadap pihak yang ditentang ataupun yang didukung.
Kelompok mafia politik Aceh pun melancarkan propaganda-propaganda tentang penyelamatan MoU Helsinki dan UU PA untuk membenarkan tindakan segelintir anak negeri pro status quo memberangus calon independen. Sayangnya, jika pun benar ini adalah bagian dari penyelamatan mengapa tidak pasal-pasal krusial seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), pembebasan tapol napol Aceh, Peraturan Pemerintah turunan dari UU PA yang terkait dengan hajat hidup rakyat Aceh.
Sungguh peristiwa hari Selasa lalu akan menjadi indah dan monumental jika yang terjadi adalah perjuangan qanun yang terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat dan bukan hanya kekuasaan belaka. Namun apa boleh dikata inilah gambaran nyata yang pahit yang harus diterima oleh rakyat Aceh, bahwa para wakil dan pemimpin mereka akan bertarung mati-matian demi kepentingan kekuasaan namun acuh tak acuh apabila terkait kepentingan rakyat. Para pembajak seharusnya bisa memahami pesan Malcolm X ìAnda tidak boleh dibutakan oleh patriotism yang menyebabkan anda tidak bisa menghadapi kenyataan, kesalahan tetap kesalahan, tidak peduli siapapun yang mengatakannyaî .
Di balik propaganda penyelamatan MoU Helsinki, maksud memberangus calon independen hanyalah untuk menghambat incumbent menggunakan jalur tersebut sekaligus melanggengkan partai berkuasa sebagai satu-satunya partai lokal. Pada fase ini, dapatlah kita sebut gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga. Apabila hanya karena tidak menginginkan jalur ini digunakan satu atau dua orang baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dengan berbagai alasan, misalnya; sudah tidak pantas lagi eloknya hal ini dapat diselesaikan dengan dialog dan transaksi politik yang rasional, seperti yang dikatakan Wagub Aceh, Muhammad Nazar, ìJika tak suka pada tikus atau ayam janganlah kita membakar lumbung padi,î (atjehpost.com, 30 Juni 2011) karena hal seperti ini bukan hanya dapat menghalangi calon-calon pemimpin yang pantas dari luar partai. Apalagi mempertontonkan pertarungan politik yang tidak sehat.
Elite-elite politik yang bertikai telah memberi pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat. Terlepas segala polemik hukum yang berlangsung terkait calon independen, substansi alasan Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 256 dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dalam rangka menjamin hak-hak demokrasi seluruh warga negara.
Ketika pemerintah pusat hari ini telah menjamin hak demokrasi seluruh rakyat Aceh, ternyata masih ada pihak-pihak di internal Aceh sendiri yang tidak ikhlas memberikan hak tersebut kepada rakyat Aceh. Jika hak politik saja bukan untuk semua orang, maka kita boleh mengukur apakah hak kesejahteraan akan diberikan kepada seluruh rakyat Aceh
Jalan Terus!
Jika anggota dewan tidak bersepakat dengan MK dan menghapus klausul calon independen dengan menggunakan aturan peralihan UUPA pasal 269 ayat tiga yang mengatur konsultasi dengan DPRA dalam setiap rencana terkait perubahan pasal-pasal UU PA. Maka dengan kewenangan yang dimiliki oleh MK, masyarakat sipil pro demokrasi bisa melawan balik dengan mengajukan judicial review pada MK untuk membatalkan aturan peralihan tersebut dikarenakan penggunaannya justru membuka peluang otoritarianisme parlemen dan melanggar hak-hak demokrasi warga negara.
Namun jika pun ini tidak dilakukan, karena seperti yang dikatakan oleh, Ryass Rasyid Qanun Pilkada telah batal demi hukum. Kita menantikan sikap tegas dari Mendagri untuk tidak mengesahkan Qanun Pilkada yang telah merampas hak-hak demokrasi rakyat Aceh. Karena satu-satunya cara menghentikan mobokrasi adalah menegakkan aturan demi terjaminnya kepastian hukum. Selain itu, kita berharap para elite politik dapat mulai menunjukkan kedewasaan berpolitik dengan lebih memikirkan kepentingan rakyat ketimbang mengikuti nafsu kekuasaan yang berpotensi menghancurkan perdamaian Aceh. Daripada menjadi nila setitik yang merusak sistem politik Aceh bukankah lebih baik menjadi teladan kepemimpinan politik? Nafsu kekuasaan harganya mahal, jangan korbankan rakyat hanya untuk dan karena kekuasaan kelompok dan individu.