Written by TABLOID BERANDA | GAFFIN
Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Radjiun, Ka Neuwo Bak Po-Teuh Allah SWT, Paduka Njang Mulia Wali Neugara Atjeh, Teungku Hasan Muhammad di Tiro, di Kutaradja, 3 Djuni 2010.
Tulisan itu tertera di sepotong spanduk yang dipajang pada sebuah panggung sederhana di komplek Makam Pahlawan Nasional Teungku Chik di Tiro di desa Meureue, Kecamatan Indrapuri Aceh Besar. Terletak di sisi kiri panggung, Tengku Hasan Tiro dimakamkan berdampingan dengan Teungku Chik di Tiro, ulama dan tokoh perjuangan Aceh yang diberi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah. Bendera Partai Aceh berkibar-kibar di sepanjang jalan hingga ke komplek makam. Hari itu, 2 Juni 2011, Partai Aceh dan KPA memperingati setahun wafatnya Wali Nanggroe Hasan Tiro.
Hadir di sana Pemangku Wali Nanggroe Malik Mahmud, mantan menteri luar negeri GAM dr.Zaini Abdullah, mantan Mentroe Prang Zakaria Saman dan mantan Panglima Tentara GAM Muzakir Manaf. Berjarak sekitar lima kilometer dari jalan raya Medan-Banda Aceh, makam itu dipenuhi pengunjung yang datang dari berbagai daerah di Aceh. Barisan kendaraan memanjang hingga satu kilometer dari makam.
Usai doa bersama di kuburan, Muzakir Manaf yang kini menjabat ketua Umum Partai Aceh sekaligus Ketua KPA adalah orang pertama yang naik panggung menyampaikan kesan. “Beliau telah membuka mata orang Aceh untuk berdiri di kaki sendiri dan mengenal diri sendiri.
Apakah kita sebagai orang Aceh bisa membangun nanggroe ini.” Tak lupa Muzakir menyinggung kondisi politik terkini yang menurutnya makin hari kian memanas.
Padahal, kata Muzakir, pada tahun 2005 lalu, Wali Nanggroe telah meninggalkan sebuah perjanjian damai dengan pemerintah Indonesia sebagai satu-satunya konsep untuk memajukan Aceh di masa yang akan datang
“Kitalah yang menentukan, apakah akan sanggup mengemban amanah beliau atau tidak. Kitalah yang bertanggungjawab untuk memajukan bangsa Aceh. Dan itu berada di pundak Partai Aceh," ujar Muzakir.
Setelah Muzakir turun panggung, giliran dr.Zaini Abdullah menyampaikan kenangannya bersama almarhum. Pria yang akrab disapa Doto Zaini ini bisa dibilang selalu di bersama Hasan Tiro dalam setiap tahapan pegerakan: sejak mendeklarasikan pergerakan kemerdekaan di Gunung Halimun pada 1976, menetap di Swedia, hingga ajal menjemputnya di Banda Aceh tahun lalu. Bagi Zaini, Hasan Tiro adalah seorang guru yang tak hanya membuka wawasannya tentang sejarah Aceh, tetapi juga mengajarinya tentang filosofi hidup.
“Saya bersama beliau sejak awal hingga akhir. Wali mencontohkan bagaimana cara hidup. Tahu kapan mengatakan tidak, dan tidak takut dalam bertindak.”
Tak hanya itu, bagi Doto Zaini, Hasan Tiro juga mengajarkan hal-hal kecil yang tidak terpikirkan oleh orang lain. Mulai dari cara berpakaian, cara makan, hingga etika pergaulan dengan dunia luar.
“Dari jaman kesultanan, kita sudah menjadi sebuah bangsa yang besar. Tapi sekarang kita sudah tidak mengenal jati diri. Padahal dengan pendidikan, kita tahu kapan kita berdamai dan kapan kita harus berperang. Damai yang sudah ada sekarang mesti kita pelihara. Ini amanah wali yang mesti kita jalankan,” ujarnya.
Hasan Tiro muda | dokumen pribadi Hasan Tiro
Teungku Malik Mahmud yang tampil kemudian memutar ingatan ke masa puluhan tahun silam, tepatnya pada 1964. Hubungannya dengan Hasan Tiro bermula lewat surat menyurat. Ayahnya yang ketika itu berperan sebagai penghubung pejuang Aceh di Singapura, sering melakukan surat-menyurat dengan Hasan Tiro yang bermukim di Amerika Serikat
Suatu hari, Hasan Tiro mendarat di Singapura. Keluarga Malik mengundangnya untuk makan siang di rumah. Tiba di sana sekitar pukul 11.00 siang, Hasan Tiro langsung dipersilahkan duduk. Bukannya langsung duduk, Tengku Hasan malah menanyakan adik dan ibunya. Ketika diberitahu mereka sedang menyiapkan masakan di dapur, Teungku Hasan langsung menghampirinya. Usai bersalaman, terjadilah dialog seperti ini.
“ Sedang memasak apa, kok aromanya wangi sekali,” tanya Tengku Hasan.
“Gulai ayam dengan rebung kala, masakan Aceh Rayeuk,” jawab Ibu.
Tengku Hasan langsung membuka penutup beulangong (wajan). Aroma rebung kala memenuhi ruangan.
“Sudah lama sekali saya merindukan masakan ini,” ujar Hasan Tiro dengan wajah berseri.
Pertemuan itu rupanya begitu membekas di benak Mentroe Malek, hingga sampai pada kesimpulan Hasan Tiro adalah seorang pemikir yang cerdas, bersahaja dan pintar bergaul dengan masyarakat biasa. Begitu pula sebaliknya, Mentroe Malik pun mendapatkan tempat khusus di hati Wali Nanggroe. Kekaguman Mentroe Malik kian bertambah setelah bergabung bersama Hasan dalam pergerakan. Tak jarang Malik ikut menyaksikan bagaimana Hasan Tiro memperkenalkan Aceh kepada bangsa-bangsa lain di Eropa, Amerika Serikat, Timur Tengah hingga ke Afrika.
Kepada Mentroe Malek, Tengku Hasan selalu mengingatkan bahwa Aceh adalah sebuah bangsa besar sejak dahulu.
“Ini satu pendidikan yang saya dapatkan dari beliau dan bagi saya jarang mendapat pendidikan yang seperti ini langsung dari seorang pemimpin yang sangat dihormati. Kami diajarkan ilmu politik, diplomasi internasional, juga strategi perjuangan supaya kita bisa menjadi pemimpin suatu bangsa yang besar seperti Aceh,” ujar Malik. [bersambung]
Catatan: artikel ini telah dimuat Tabloid Beranda, Edisi III, Juni 2011