"Mahaguru dan Sebilah Rencong"
Written by TABLOID BERANDA | GAFFIN. Merekam cara 'Wali Nanggroe' menggembleng orang-orang di sekelilingnya. Hanya anak kecil yang mampu meredam amarahnya. Inilah sisi manusia Hasan Tiro. ***
Pagi-pagi Muzakir Abdul Hamid sudah rapi. Hari itu staf khusus 'Wali Nanggroe' Hasan Tiro ini mendapat tugas penting: menjemput Kuntoro Mangkusubroto, mantan Ketua Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Bergegas Muzakir memacu mobil menuju sebuah hotel yang berjarak 15 kilometer dari rumahnya. Tiba di sana, Kuntoro sudah menunggu. Ia didampingi Sekretaris BRR Teuku Kamaruzzaman dan Deputi Keuangan Amin Surbekti. Tak membuang waktu, mereka langsung bergerak menuju Apartemen Alby Blok 11 Norsborg, Stockholm, Swedia. Di sinilah Hasan Tiro menetap selama lebih dua puluh tahun.
Selain Wali Nanggroe, di sana telah menunggu Meuntroe Malek dan dr. Zaini Abdullah. Hari itu, pertengahan Mei 2007, Kuntoro datang ke Swedia dalam rangka lawatan ke Eropa untuk menemui sejumlah pimpinan negara donor yang telah menyumbang bantuan untuk Aceh pascatsunami. Rupanya, di sela-sela lawatannya, pria yang kini menjabat Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan itu merasa perlu menjenguk Wali Nanggroe.
Awalnya, Kuntoro sempat ragu apakah mungkin Tengku Hasan bersedia menerima dirinya. Apalagi, Wali dikenal belum pernah bersedia menerima perwakilan pemerintah untuk bertemu dengannya. Kekhawatirannya bertambah mengingat dirinya orang Jawa tulen. Namun, kekhawatiran itu tak terbukti. Dia disambut hangat. Pertemuan itu tak terjadi begitu saja. Sebelum berangkat, Kuntoro bertemu Malik Mahmud. Pertemuan pun dirancang.
Di depan Kuntoro, Malik menelpon Hasan Tiro.
Dari seberang, Hasan Tiro setuju bertemu. "Silahkan ke sana Pak Kun, silahkan ke sana," ujar Malik seperti ditulis dalam buku laporan BRR berjudul: ”Story: Feat of the Daunting Launch.” Ditemani secangkir kopi susu panas dan kue apel koka khas Swedia, mereka larut dalam obrolan hangat. Seperti kepada setiap tamu lain yang datang, Wali bercerita tentang sejarah perjuangan Aceh.
Perbincangan berlangsung dalam bahasa Inggris. Kuntoro lalu menggelar peta Aceh yang sengaja dipersiapkan sejak berangkat dari Banda Aceh. Dalam buku Story: Feat of the Daunting Launch, Kuntoro menggambarkan pertemuan itu penuh antusias
“Apa ini?,” tanya Hasan Tiro sambil menunjuk daerah yang diberi warna berbeda di atas peta
“Itu adalah kawasan yang terkena bencana tsunami. Kami sedang membangun rumah dan jalan di kawasan yang rusak ini.,” jawab Kuntoro
“Kalau ini apa?,” tanya Wali menunjuk ke lokasi yang diberi warna lain.
“Itu peta pertambangan dan sumber daya alam Aceh. Peta I dan Peta II adalah tentang pertambangan. Peta III tentang pertumbuhan dan persebaran penduduk. Satu lagi peta infrastruktur yang sedang kita bangun,” jawab Kuntoro.
“Good, very good. Aceh harus dibangun lebih baik, tanpa merusak sumberdaya alam,” pesan Wali.
Tak terasa, satu jam berlalu. Pertemuan berakhir. Kuntoro pamit sembari tak lupa menitipkan pesan agar Wali menjaga kesehatan. Yang membuat Kuntoro tersentak, ia seolah tak percaya ketika Wali mengantarnya hingga ke depan eskalator sambil melambaikan tangan.
Ketika Kuntoro menghilang dari pandangan, barulah Hasan Tiro kembali ke ruangannya. “Terlepas dari keyakinan politiknya, saya sangat hormat kepada Hasan Tiro. Beliau orang yang teguh pendirian dan konsisten memperjuangkan apa yang diyakininya sebagai sebuah kebenaran,” ujar Kuntoro di Banda Aceh kepada sejumlah staf di BRR, sekembalinya dari Swedia. [bersambung]
Catatan: artikel ini telah dimuat Tabloid Beranda, Edisi III, Juni 2011