WRITTEN BY SAIFUDDIN BANTASYAM
DOSEN FH UNSYIAH, DIREKTUR PUSAT STUDI PERDAMAIAN DAN RESOLUSI KONFLIK UNSYIAH
Ada banyak pertanyaan yang mengganggu kehidupan kita sehari- hari. Salah satunya adalah apakah antara moral dan politik, sebenarnya merupakan dua konsep yang terpisah? Ataukah dua hal itu sama sekali tak dapat dipisahkan?
Ataukah politik dapat berjalan tanpa moral, sama seperti moral tak memerlukan politik?
Ataukah sebenarnya kita bahkan tidak memerlukan sama sekali kedua-duanya?
Saya pikir, seluruh pertanyaan di atas, tidak gampang untuk dijawab.
Dulu, Machieveli memunculkan gagasan untuk memisahkan politik dari moral. Dia mengatakan semua cara dapat dilakukan untuk mencari kekuasaan politik. Sebagai hasilnya, dia kemudian dituduh sebagai manusia yang hidup dengan setan, roh jahat, sebagai penulis yang immoral, seorang pendukung tirani dan kejahatan.
Tetapi sebenarnya ada juga yang melihat Machieveli sebagai manusia bermoral, seseorang yang sangat pragmatis terhadap kehidupan politik.
Dia dikenal sebagai orang pertama yang mengatakan bahwa atas nama kepentingan negara, maka segalanya dapat dilakukan, termasuk melanggar hukum sekalipun.
Apa yang disebut dengan kebutuhan negara, kata dia, adalah sesuatu yang tiada hukumnya dan moralitas tak ada tempatnya jika negara berada dalam bahaya.
Disebutkan juga bahwa Machieveli sebenarnya tak memisahkan moral dan politik, bahkan dia sebenarnya bicara tentang cara dan tujuan yang baik.
Machieveli menawarkan kekerasan bukan untuk kekuasaan itu sendiri, melainkan untuk memelihara negara menjadi kuat. Juga, Machieveli tak pernah berkata bahwa tujuan membenarkan cara.
Namun sama seperti kurang percayanya orang kepada politisi, demikian juga kepada Machieveli. Tanpa dikehendaki oleh Machieveli sendiri, dia sudah ditabalkan sebagai manusia jahat dengan pikiran- pikiran jahat, manusia yang menganjurkan manusia lain, jika perlu, menggunakan jalan jahat, jalan kekerasan, untuk mencapai tujuan.
Namun kita bersama kemudian menjadi saksi sejarah, bahwa ketika politik hanya menjadi alat, dengan mengacuhkan semua aturan yang ada, termasuk moral, atau mempraktekkan gaya machiavelist, maka yang ada hanya kehancuran.
Sejarah itu ada di Eropa, AS, Australia, dan juga Asia serta Afrika. Kekuasaan yang direngut dengan cara tak benar, berakhir dengan cara tak benar.
Pemerintah yang direbut dengan keduta, akan tumbang dengan cara yang sama. Kerajaan yang absolut, diruntuhkan dari singgasana.
Di negara yang mempraktekkan demokrasi pun, kerap kita saksikan kehancuran sebuah rejim, mana kala rejim itu mulai menghalalkan secara cara.
Itu sebabnya, berpolitik memerlukan panduan, sama dengan berbagai kegiatan lain, seperti kita baru beli HP baru dan ingin mengoperasikannya, yang selalu diiringi dengan buku panduang.
Berpolitik bukan sesuatu yang lepas dari lingkungannya, bahkan sebaliknya, berpolitik mesti memperhitungkan kehadiran aspek-aspek lain di lingkungan tersebut, sama seperti kita memakai HP baru, di dalam mana kita mungkin tak bisa menelpon jika kita berada di mesjid atau dalam ruang pertemuan.
Benar bahwa politik itu menuju kepada kekuasaan, kepada dominasi, kepada mayoritas. Tetapi jika kemudian dicapai dengan cara tak benar, maka esensi politik itu sudah hilang.
Politik adalah suatu tindakan kebudayaan, yang mensyaratkan peradaban, dan ketika syarat itu tak dipenuhi, maka politik sebagai tindakan kebudayaan sudah pula kehilangan ruhnya.
Moralitas adalah salah satu pedoman sebagaimana disebutkan di atas. Moralitas sejatinya adalah dan seharusnya dijadikan pondasi bagi setiap gerakan politik.
Moralitas adalah sesuatu yang menyangkut “how to be” di dalam kehidupan, sesuatu mengenai “bagaimana kita semestinya (berperilaku, bertindak) dalam kehidupan kita.
Moralitas mengandung nilai-nilai religius di dalamnya, nilai- nilai tentang baik, patut, wajar, dan sebagainya, yang membahagiakan manusia.
Moralitas adalah suatu rasa dalam berperilaku yang membedakan kemauan, keputusan, dan tindakan-tindakan yang baik (good, right) dan buruk (wrong, atau salah).
Dalam maknanya yang deskriptif, moralitas mengacu kepada nilai-nilai budaya dan perorangan atau personal, pedoman tingkah laku atau norma-norma sosial yang membedakan antara yang “baik” atau “salah” tetapi hanya mengacu kepada apa yang dianggap baik dan salah oleh individu atau kelompok.
Tetapi dalam maknanya yang normatif, moralitas mengacu langsung kepada apa yang baik dan salah, terlepas dari apa yang dipikirkan oleh seseorang. Pengertian seperti mengingatkan kita kepada kalimat yang sering kita dengar, “secara moral, orang ini bertanggung jawab” yang berbeda dengan kalimat “banyak yang percaya bahwa orang tersebut bertanggung jawab secara moral.”
Dalam pengertian yang normatif tadi, moral sering ditantang oleh apa yang disebut nihilism (yang menolak segal bentuk kebenaran moral).
Sejatinya makna moralitas yang normatif mesti menjadi landasan dalam tata kelola pemerintahan, baik oleh eksekutif maupun oleh legislatif.
Moralitas yang normatif, dengan demikian semestinya juga menjadi pertimbangan berperilaku para politisi, sebab di tangan mereka-lah kewenangan membuat aturan perundang-undangan diberikan.
Moralitas yang normatif membuat politisi menjadi paham makna “public goals” dengan “private goals.” Moralitas yang demikian melahirkan kesadaran bahwa tujuan tak boleh menghalalkan cara.
Sumber : www.acehinstitute.org