Written by TABLOID BERANDA | GAFFIN
Tepat setahun Tengku Hasan Tiro meninggal dunia. Ia ikon perlawanan sekaligus perdamaian Aceh. Terlepas dari benar tidaknya yang diperjuangkan, ia adalah putra Aceh yang melegenda. Meninggal dalam usia 84 tahun, ia tidak hanya dikenal kalangan tua, tapi juga generasi muda. Jangan lupakan sejarah. Itulah pesan Tengku Hasan Tiro ketika pulang ke Aceh pada Oktober 2008.
Jauh sebelumnya, pesan serupa juga bergema dalam dinginnya musim salju di Stockholm, juga dalam terik matahari di kamp pelatihan militer Tajura, Tripoli, Libya. Di kedua tempat itu, Hasan pernah menghabiskan sebagian usianya. Bagi Hasan Tiro, sejarah adalah warisan pendahulu yang wajib dipelajari dan diamalkan. Tak heran, gemilang Aceh masa silam pula yang merasuki dirinya sehingga mempelopori sebuah gerakan pembebasan. “Sejarah kita seperti buku bank. Dari sana kita tahu berapa harga pusaka yang ditinggalkan nenek moyang kita,” ujarnya saat membahani sejumlah anak muda Aceh di Libya dalam satu sesi yang disebutnya Pendidikan Aceh.
Bagi Aceh, Hasan Tiro adalah sejarah itu sendiri. Ia melalui, bahkan menciptakan tahapan-tahapan sejarah Aceh paska Indonesia merdeka: dari zaman Presiden Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Gerakan pembebasan yang dipeloporinya membawa pengaruh besar bagi Aceh. Menggelorakan semangat perlawanan di usia muda, ia memutuskan berdamai di usia senja. Dalam rentang 30 tahun perjuangan, ia keliling dunia dengan membawa bendera pembebasan Aceh. Sampai pada suatu ketika, mata dunia pun tertuju ke Aceh. Hasilnya, Aceh kini menikmati masa-masa pelimpahan wewenang yang cukup besar untuk mengatur diri sendiri lewat Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani di Helsinki pada 2005 lalu. Dari perjanjian inilah lahir Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang menyepakati pembagian hasil migas 70 : 30 persen bagi Aceh. Memang, seperti ditulis dalam Price of Freedom, salah satu bukunya yang termasyur itu, selalu ada harga yang harus dibayar untuk mencapai sebuah tujuan. Lelaki yang teguh hati itu mengorbankan diri dan keluarganya untuk membentuk apa yang disebutnya nasionalisme Aceh. Bahkan, ketika menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh, ia pergi dalam sunyi: tanpa didampingi istri dan anak satu-satunya Karim Tiro.
Hampir dalam setiap kesempatan, ia menanamkan rasa cinta mendalam kepada Aceh lewat sejarah-sejarah perjuangan masa lalu. Dari sanalah, ia memperkenalkan jati diri Aceh. Cornelis Van Dijk, sejarawan asal Rotterdam, Belanda menyebut Hasan Tiro disebut sebagai seorang yang memiliki inteligen tinggi, berpendidikan baik, yang diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat pada orang kebanyakan, yakni pesona dan keteguhan hati (Burham: 1961). Hasan Tiro adalah pahlawan Aceh kontemporer. Muncul dari keluarga pejuang Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman, Hasan mengenyam pendidikan tinggi hingga ke Amerika Serikat, berkecukupan secara ekonomi dan memiliki relasi luas di luar negeri. Memperingati setahun berpulangnya Hasan Tiro, kami memutuskan mengangkat cerita tentang kisah hidup pendiri Gerakan Aceh Merdeka ini. Namun, tentu saja kami tak ingin hanya sekedar mengulang cerita yang telah diulas di banyak media. Hasan Tiro merupakan seorang mahaguru yang telah mengorban lebih separuh usianya untuk memperkenalkan Aceh bak mata donya. Hasan Tiro tidak mewariskan harta yang melimpah, tetapi ia meninggalkan pelajaran berharga tentang makna harga diri dan marwah sebuah daerah bernama Aceh. Menulis Hasan Tiro, adalah merekam jejak sejarah perjuangan Aceh.[bersambung]
Artikel ini diterbitkan Tabloid Beranda Edisi III, Juni 2011