Apa pentingnya opsi Pilkada bagi masyarakat?
Pada dasarnya masyarakat ingin lahirnya kepemimpinan baru yang ideal serta pro kesejahteraan rakyat pasca proses Pilkada tersebut. Tapi apakah sebuah prosesi Pilkada sudah pasti akan memenuhi harapan rakyat tersebut?
Tentu tidak pasti juga. Bisa jadi pasca Pilkada rakyat akan sejahtera, tapi bisa juga sebaliknya, bertambah nestapa. Apalagi jika melihat realita masa lalu, bahwa pergantian kepemimpinan pasca Pilkada, hanya membuka lembaran baru tentang cerita kenestapaan yang mendera masyarakat. Jadi, Pilkada bukan harga mati bagi masyarakat, meski disisi lain, mereka tetap berharap prosesi setiap ‘pesta’ Pilkada akan melahirkan pemimpin baru yang pro kesejahteraan rakyat. Pertanyaan kedua, apa pentingnya rakyat menolak Pilkada dengan alasan menyelamatkan UUPA?
UUPA bukan milik satu kelompok atau partai saja. UUPA milik seluruh rakyat Aceh. Dan menyelamatkan UUPA merupakan kewajiban bagi seluruh rakyat Aceh. Sebab, selain karena UUPA tersebut diperjuangkan dengan darah dan airmata segenap rakyat Aceh, juga karena disitu terdapat harkat dan martabat rakyat Aceh yang sekian lama pernah mengalami penindasan dan diskriminasi pemerintah pusat.
Bagi PA, UUPA adalah simbol dan ‘prasasti’ reintegrasi mereka dengan NKRI. UUPA adalah syarat perdamaian GAM dengan NKRI. Tercabutnya salah satu butir dari UUPA tersebut akan dimaknai sebagai upaya untuk memperkeruh atau bahkan mengancam perdamaian.
Lalu, bagi rakyat, apakah UUPA ini merupakan pintu menuju kesejahteraan mereka?
Seharusnya demikian. Tapi dilapangan nyatanya banyak juga implementasi dari UUPA faktanya belum direalisasikan untuk kesejahteraan masyarakat. Revisi secara tidak langsung pasal keikutsertaan calon independen dalam UUPA yang dilakukan oleh MK faktanya tidak semua rakyat memaknainya sebagai awal dari upaya untuk merontokkan butir-butir UUPA satu persatu.
Ini karena beberapa hal. Pertama, keikutsertaan calon independen pada dasarnya adalah hak bagi setiap individu sebagai warga negara. Setiap warga negara berhak untuk diangkat sebagai pemimpin, meskipun mereka diluar jalur Partai Politik.
Kedua , ditengah memudarnya kepercayaan dan harapan bagi kesejahteraan rakyat melalui jalur Parpol, maka opsi jalur independen untuk meraih kursi kekuasaan dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, meski realitanya hanya sedikit sekali calon independen yang sanggup meraih kursi kekuasaan dalam pentas perpolitikan di Indonesia.
Ketiga, jalur Independen saat ini sudah dipakai di banyak wilayah di Indonesia. Saat hal serupa terjadi di Aceh, akan dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Faktanya, melihat kondisi dilapangan, nampak juga bahwa jalur independen ini juga didukung oleh banyak kalangan.
Begitu banyak calon-calon yang muncul via jalur non Parpol ini tentu dibarengi dengan pendukung mereka. Hal ini belum lagi melihat banyak pula mantan kombatan GAM yang berafiliasi ke salah satu calon indepenen di Aceh. Artinya, rakyat Aceh tidak semuanya memandang bahwa keputusan MK untuk melegitimasi keikutsertaan calon independen dalam Pilkada di Aceh sebagai upaya untuk menggerogoti UUPA.
Bukanlah sebuah logika yang tepat jika kita menyebut bahwa ‘memilih opsi Pilkada’ akan bermakna menolak UUPA.
Dengan landasan yuridis NKRI yang sangat jelas bagi pelaksanaan Pilkada, rasanya sangat tidak mungkin prosesi Pilkada dihentikan.
Setelah dengan penuh heroisme PA tidak mendaftarkan kandidatnya ke KIP, seharusnya PA juga bisa menunjukkan heroismenya kembali dengan berusaha untuk menghentikan polemik. Jika tidak, bukankah sangat menyedihkan ketika konflik regulasi ini berlarut-larut kemudian menyebabkan kian banyaknya kepentingan rakyat yang terabaikan.
Kapan program pro rakyat sempat terpikirkan jika kita sibuk terus-terusan terjebak dalam pro kontra calon independen ?
Kapan sempat terpikir usaha untuk mengentaskan kemiskinan ?
Jika konflik regulasi ini terus berlanjut, kapan sempat terpikirkan untuk membuka lapangan kerja baru rakyat sehingga mereka tidak menjadi pengangguran?
Kami rakyat aceh hanya ingin damai. Kami lelah hidup dalam konflik.