WRITTEN BY WIRATMADINATA | ALUMNI CIDCM (CENTRE FOR INTERNATIONAL DEVELOPMENT AND CONFLICT MANAGEMENT)-UNIVERSITY OF MARYLAND, USA. SAAT INI; KETUA BADAN PENGURUS KOALISI NGO-HAM ACEH.
CEH sepertinya tidak bisa benar-benar tidur nyenyak dengan damai. Kekerasan bersenjata mendadak pecah lagi di kawasan Geurudong Pase, Aceh Utara, Minggu malam (4/12) lalu. Menjelang tengah malam, lima orang bersenjata laras panjang dengan mengenakan penutup muka membantai tiga buruh perkebunan P.T. Satya Agung, hingga tewas dan empat lainnya mengalami luka berat. Korban dibantai dari jarak dekat saat sedang minum kopi di warung dekat dengan tempat tinggal para pekerja. Peristiwa ini mengingatkan kita pada tahun-tahun awal konflik Aceh di tahun 1998, ketika kekerasan di Aceh diawali dengan pembunuhan-pembunuhan acak tanpa motif yang jelas dan boleh dikatakan tidak ada pelaku yang berhasil ditangkap, sehingga istilah “orang tidak dikenal” populer di Aceh.
Gejala kekerasan baru di Aceh yang sudah relatip aman dari kekerasan politik dan bersenjata selama tiga tahun terakhir, telah dimulai pada Selasa malam, 30 November lalu, ketika “orang tak dikenal” melemparkan granat ke markas tim sukses Calon Gubernur Aceh Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan di kawasan Lampriek, pusat kota Banda Aceh. Ledakan granat kedua terjadi pada hari Kamis, 1 Desember, dan kali ini melukai tiga warga Banda Aceh yang kebetulan lewat di depan lokasi peledakan granat. Spekulasi tentang latar belakang ledakan granat ini belum lagi usai, ketika kekerasan yang sebenarnya telah menyusul dengan pembantaian tiga buruh pekerja di Aceh Utara.
Bagi orang yang mengamati situasi keamanan di Aceh, khususnya sejak tahun 1998, ketika semua krisis politik dan kekerasan bersenjata dimulai dan memuncak di awal tahun 2000-an, hal ini tidak akan dianggap peristiwa sepele. Karena, gejala dan pola kekerasan yang terjadi jelas menunjukkan bahwa ini bukanlah kriminal biasa. Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen TNI Adi Mulyono kepada surat kabar lokal Serambi Indonesia, Selasa (6/10) mengatakan bahwa “ada skenario dibuat kelompok besar di belakang berbagai peristiwa itu”. Ia juga menegaskan bahwa situasi terakhir ini pasti ada kaitannya dengan soal politik. “Tapi kita tidak bicara politik, melainkan menjaga keamanan”, katanya menjawab wartawan.
Catatan kekerasan tersebut di atas memang berpotensi menimbulkan berbagai spekulasi yang jika tidak disikapi dengan jernih justru akan membuat orang semakin jauh dari fakta sesungguhnya, yang mendasari kekerasan yang terjadi. Spekulasi yang pertama adalah; bahwa kekerasan ini mungkin dilakukan oleh kelompok mantan GAM atau PA (Partai Aceh) yang dianggap sangat kecewa dengan perkembangan politik menjelang Pemilihan Gubernur Aceh, dimana GAM/Partai Aceh tidak jadi mencalonkan pasangan Zaini Abdullah (mantan Menteri Kesehatan GAM)-Muzakir Manaf (Mantan Panglima GAM dan Ketua PA). Pembatalan pencalonan itu karena KIP (Komisi Independen Pemilihan) Aceh tetap melaksanakan Pilkada di Aceh dengan mengakomodasi Calon Independen, sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan bahwa keikutsertaan Calon Independen di Aceh tetap bisa dilakukan, meski pihak PA beranggapan hal itu tidak sesuai dengan UUPA/UU.No.11/2006. PA juga memerintahkan seluruh kadernya yang akan ikut Pilkada tingkat kabupaten untuk tidak ikut dalam pilkada.
Tetapi pihak PA melalui, Muzakir Manaf, sebelumnya telah menyatakan bahwa PA tidak memboikot Pilkada di Aceh dan tetap komit untuk menjaga perdamaian, meskipun dia tidak bisa menjamin “jika ada aksi rakyat yang kecewa atas keputusan MA” (Serambi, Senin, 28 November). Hal ini tentu maksudnya dengan tidak akan mengganggu jalannya Pilkada atau melakukan kekerasan, meskipun ia dan Zaini Abdullah tidak jadi ikut serta dalam pemilihan Gubernur.
Sepekulasi kedua adalah, bahwa pelemparan granat itu dilakukan sendiri oleh kelompok Irwandi. Tujuannya adalah untuk membangun persepsi publik bahwa Irwandi dan Muhyan sedang berada dibawah ancaman dan tekanan. Sebagaimana diketahui bahwa keputusan KIP Aceh yang mengacu kepada keputusan MK untuk tetap memberi ruang kepada calon Independen telah memuluskan langkah Irwandi Yusuf sebagai incumbent untuk ikut serta dalam Pilkada yang digelar pada 16 February 2012 yang akan datang. Irwandi Yusuf sendiri yang notabene mantan anggota GAM secara organisasi tidak didukung oleh PA atau partai lain sehingga memilih jalur perseorangan. Disisi lain mantan dosen Unsyiah ini tetap didukung oleh sebagian mantan kombatan GAM di lapangan.
Situasi ini menggambarkan perpecahan ditubuh GAM yang sudah dimulai sejak Pilkada lima tahun lalu, dimana Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar memenangkan Pilkada lewat jalur independen. Sementara pasangan yang didukung secara resmi oleh GAM/PA, yaitu DR. Ahmah Humam Hamid- dr. Zaini Abdullah kalah dalam pemilihan. Perpecahan itu semakin tajam karena PA berhasil memenangkan Pemilu legislatip dan mendominasi komposisi DPR-Aceh. Dampaknya Irwandi sebagai Kepala Eksekutip harus berhadapan dengan PA di Legislatip. Komposisi politik ini kemudian berdampak pada saat DPR-A memutuskan untuk menganulir keputusan MK yang menyetujui diberlakukannya jalur independen di Aceh. Tujuannya adalah agar Irwandi tidak bisa maju melalui jalur independen. Jika dipersempit konflik ini seakan-akan, dan bisa dibaca konflik “internal” bekas GAM.
Sepekulasi ketiga, baik kelompok pasangan Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan, maupun GAM/PA sebagai orang Aceh tidak akan mungkin membangun kembali spiral kekerasan di Aceh hanya karena kepentingan posisi Gubernur. Spekulasi ini memberi ruang pada kepercayaan bahwa sesama orang Aceh, baik faksi Irwandi maupun faksi Muzakir yang notabene sama-sama orang GAM tidak akan bertindak terlalu jauh untuk mengorbankan rasa aman warga Aceh pasca perdamaian. Selain karena mereka telah belajar beratnya risiko konflik, juga mengingat mereka terikat pada perjanjian Helsinki dan UUPA. Mereka paham betul apa risiko negatip yang bisa timbul jika kekerasan dimulai. Maka munculah, kelompok ketiga yang dalam kaitan ini bisanya disebut sebagai “provokator”, atau sebagaimana disinyalir Pangdam IM sebagai “kelompok besar dibelakang berbagai peristiwa itu”, yang bermotif politik. Tapi siapakah mereka?
Kelompok ketiga ini, siapapun mereka, dalam konteks analisis konflik bisa siapa saja; tapi dengan kepentingan yang tunggal; mengambil keuntungan dari konflik yang terjadi di Aceh. Kelompok yang sering juga disebut dengan “peace spoiler” ini adalah aktor-aktor dengan “multi-economics and political interest”. Sebut saja misalnya para pedagang senjata atau pedagang narkoba yang mengambil keuntungan ditengah konflik. Termasuk juga para pembalak hutan dan perusahaan pertambangan. Biasanya mereka bekerjasama dengan orang-orang yang berada dalam struktur kebijakan dan kekuasaan.
Sudah bukan rahasia lagi zona konflik adalah wilayah yang sangat aman untuk melakukan berbagai bisnis gelap dan hitam. Di tengah konflik, kelompok yang memiliki kuasa dan mengontrol struktur kekuasaan akan memainkan kebijakan dan diskresi untuk melakukan berbagai kepentingan dengan motip kejahatan bermacam-macam. Kondisi ini biasa disebut dengan “conspiracy theory”. Dalam teori ini, aktivitas intelijen dan kontra intelijen biasanya selalu bermain dengan sangat intens. Dalam teori ini, suatu konflik memang sengaja diciptakan baik sebagai tujuan akhir maupun sebagai tujuan antara. Seringkali sangat kejam dan mengorban siapa saja tanpa terduga. Media juga secara sadar atau tidak selalu digunakan untuk membangun persepsi tertentu. Isu yang mau dibangun misalkan saja, “Aceh ternyata sudah tidak aman lagi”, maka secara bertahap perlu dilakukan suatu tindakan operasi dengan menawarkan opsi-opsi yang cenderung berpotensi mengulangi kekerasan dan membangun konflik baru”.
Inilah yang harus diwaspadai dari fenomena spiral kekerasan yang mulai terjadi lagi di Aceh dalam minggu-minggu terkahir ini. Aceh sudah belajar mengenai situasi dan pola seperti ini sejak tahun 1998 hingga 2004, sampai saat penandatanganan perdamaian. Seharusnya semua orang waspada dan tidak terjebak pada arus logika yang coba dibangun melalui berita-berita kekerasan di media. Untuk itu, sebaiknya setiap komponen di Aceh secepatnya mempelajari fenomena kekerasan yang terjadi di awal Desember ini dan melakukan antisipasi.
Dalam situasi ini peran kepolisian sangatlah penting untuk menekan spiral kekerasan dan mencegah kembalinya konflik (conflict prevention). Sangat penting artinya jika polisi berhasil mengungkap setiap peristiwa kekerasan yang terjadi, menjelaskan motifnya, dan memenjarakan pelakunya. Hal ini bertujuan untuk mengurangi spekulasi apakah suatu peristiwa kekerasan merupakan kejahatan murni atau kekerasan dengan motif politik. Peran media lokal juga sangat penting untuk terus menerapkan prinsip “jurnalisme damai” dan mengambil bagian dalam usaha “conflict prevention” dan selanjutnya mendorong “peace building” di Aceh yang memang masih belum usai. Jika setiap kekerasan bisa ditangani dan dipastikan sebagai kriminal murni, dan bukan kriminal politik, maka potensi kembalinya konflik bisa dicegah. Tapi jika memang bermotif politik, maka pencegahan dini bisa dilakukan.
Kita berharap, baik pemerintah pusat maupun pemerintah Aceh dan seluruh struktur organisasi keamanan dapat merespon dengan cepat berbagai kekerasan bersenjata baik yang terjadi di Aceh, atau dimana saja di Indonesia. Pendekatan dan analisis sosial dengan intervensi sosial sudah banyak direkomendasikan untuk mengatasi masalah-masalah seperti diatas, khususnya diwilayah bekas konflik. Sudah selayaknya hal itu jauh lebih diprioritaskan, dan opsi yang berpotensi mengulang kekerasan serta rasa tidak aman harus dihindari, agar kita tidak terjebak lagi dalam spiral kekerasan yang semakin lama semakin sulit diurai. Proses perdamaian di Aceh mahal sekali harganya. Darah, nyawa dan air mata. Jangan ada lagi yang tertumpah hanya karena kepentingan sesaat saja.|